Sastra hampir-hampir tidak pernah
mendapat porsi sesuai dalam mata pelajaran bahasa. Kehadiran sastra
di sekolah selama ini sebatas pada pemenuhan pembelajaran, tanpa
adanya upaya oleh guru terkait pemaksimalan potensi sastra pada siswa
oleh guru bersangkutan.
Di sisi lain, sastra tak hanya mawujud
dalam bentuk konvensional macam buku. Tetapi melalui jejaring sosial
facebook, twitter, hingga blog, sastra justru
tumbuh subur. Lebih jauh, wujud sastra pun mengikuti laju modernisasi
yang begitu deras. Kecanggihan teknologi memungkinkan sastra berwujud
cyber, selain dalam bentuk drama dan seni pertunjukan yang
berdasar pada teks, seperti drama, puisi yang dibacakan
Pemahaman pada konvensi sastra yang
makin luas juga berpengaruh pada pembelajaran sastra di sekolah. Guru
sebagai yang terdepan yang membenamkan sastra di sekolah hendaknya
tidak menutup diri pada semua perkembangan itu. Siswa yang tak bisa
lepas dari alat komunikasi macam gadget yang selalu
terhubung ke media sosial adalah sarana yang potensial untuk
dikembangkan. Tiada lain, itu adalah upaya untuk mendekatkan sastra
kepada mereka.
Setidaknya untuk dapat mencapai semua kompetensi itu, guru dituntut kreatif-inovatif. Melalui berbagai cara, guru sedapat mungkin menjadikan pembelajaran menarik. Melalui cara itu, siswa diharapkan mencecap pelajaran ini dengan cara yang menyenangkan.
Bukan hal yang mudah, memang. Pola orientasi siswa yang seakan telah berubah menuju era digitalisasi, justru harus dibaca oleh pemerhati pendidikan sebagai “cara lain” mendekatkan sastra kepada siswa. Konten-konten daring sudah sepatutnya diciptakan untuk mendukung ketercapaian pembelajaran. Kerja sama antara ahli sastra dan IT menghasilkan kolaborasi yang dinanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar